Nutuk Beham di Kedang Ipil Didorong Jadi Magnet Ekowisata Budaya Kukar

BANNER TERBARUDISKOMINFO

karsaloka.com, KUKAR – Saat desa lain mulai kehilangan tradisi karena zaman bergerak terlalu cepat, Kedang Ipil memilih jalur berbeda.

Di Kecamatan Kota Bangun Darat itu, Nutuk Beham tradisi panen ketan muda dipertahankan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur sekaligus daya tarik budaya.

Nutuk Beham lebih dari sekadar perayaan panen. Tradisi ini menjadi momentum kolektif yang mempertemukan warga dalam suasana kebersamaan dan syukur. Ketan yang ditumbuk bersama bukan hanya makanan, tapi simbol rasa hormat terhadap alam.

Pemerintah Desa Kedang Ipil mulai menyusun langkah strategis untuk mengangkat Nutuk Beham ke tingkat lebih luas. Tak hanya dilestarikan sebagai tradisi, tapi juga diperkuat sebagai identitas budaya dan potensi ekowisata.

Kuspawansyah, Kepala Desa Kedang Ipil, menyebut tradisi ini sudah selayaknya mendapat tempat khusus dalam promosi wisata desa. Bukan karena kemeriahannya, tapi karena nilai autentik yang masih dijaga.

“Tradisi ini sangat penting sebagai bentuk budaya syukur masyarakat. Kami ingin mempertahankannya dan memperkenalkannya sebagai kekayaan desa,” ujarnya. Sabtu (10/5/2025).

Ritual ini telah menjadi bagian penting dari narasi budaya lokal, meskipun baru diresmikan dalam kalender desa sejak 2016. Di balik itu, sejarahnya lebih panjang, tumbuh dari kehidupan para petani yang menggantungkan hidup pada alam.

Dengan sokongan warga, pemuda, dan kelompok seni, upaya pelestarian dilakukan tanpa mengkomersialkan secara berlebihan. Fokus tetap pada edukasi dan penguatan identitas.

Bahkan, format acara kini mulai disusun agar dapat melibatkan lebih banyak pihak tanpa mengubah makna awal. Ini juga jadi langkah awal menuju pengembangan ekowisata berbasis komunitas.

Pemerintah desa ingin memastikan bahwa tradisi ini tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang, tapi bisa diwariskan ke anak cucu sebagai bagian dari jati diri mereka.

“Harapannya, kegiatan ini bisa terus dijaga dan menjadi pengikat identitas budaya kita,” tutup Kuspawansyah. (ADV/Farid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *